DI tengah hamparan lahan nan dulunya menjadi sawah subur di Desa Wogo, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT) sekarang terdapat pemandangan tak biasa: kubangan lumpur panas nan sesekali mengepul gas belerang berbau menyengat.
Meski begitu, kehidupan tetap berjalan. Warga sekitar tidak menyerah. Mereka justru menjadikan area nan dulu ditinggalkan itu sebagai ladang angan baru.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Saya menanam sayur sawi untuk kebutuhan hidup sehari-hari, kami juga sudah siapkan lahan untuk tanam cabai,” tutur Marselus Gone, penduduk Desa Wogo pada Jumat, 24 Oktober 2025. “Tidak ada pengaruh dengan lumpur itu. Jaraknya juga sekitar 50 meter dari kebun kami.”
Lubang lumpur itu muncul tiba-tiba beberapa tahun lampau di lahan seluas lima hektare, nan sebelumnya merupakan area persawahan masyarakat. Di musim kemarau, genangan lumpur tampak tenang dan mengering di permukaan.
Namun saat musim hujan tiba, lumpurnya meluas dan menelan sebagian area di sekitarnya. Meski penduduk sudah dilarang menambatkan ternak di area tersebut, beberapa sapi tetap tampak diikat di pinggir kubangan.
Air untuk mengairi kebun penduduk berasal dari sungai mini di sekitar letak itu. “Kami pakai air dari kali kecil, tidak ada masalah dengan tanaman,” kata Marselus sembari menunjukkan hamparan sawi hijau miliknya.
Lumpur dan Geotermal, Dua Wajah Mataloko
Fenomena munculnya lumpur panas di Wogo ini tak lepas dari aktivitas panas bumi di sekitar Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Mataloko. Proyek nan digarap oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) alias PLN ini merupakan bagian dari upaya memenuhi kebutuhan daya listrik di wilayah Flores.
“Lahan nan terdampak lumpur sekitar lima hektare sudah dibebaskan oleh PLN. Rencananya bakal dijadikan salah satu letak pengeboran, sekaligus area wisata edukasi geotermal,” kata Agradi Ariatama, Officer Komunikasi dan TJSL PLN UIP Nusa Tenggara.
Menurut Manajer Perizinan dan Komunikasi PLN UIP Nusa Tenggara, Bobby Robson Sitorus, area sekitar lumpur tetap kondusif dimanfaatkan penduduk untuk bercocok tanam. Meski di titik-titik tertentu terdapat delapan sumur mini nan mengeluarkan gas belerang, kandungannya tidak membahayakan penduduk sejauh ini.
Dari Lumpur ke Terang
Proyek PLTP Mataloko bukan perihal baru bagi masyarakat Ngada. Unit eksisting dengan kapabilitas 2,5 MW sempat beraksi sejak 2010 dan bisa memasok hingga 58 persen kebutuhan listrik di Kabupaten Ngada. Namun, sejak 2015 proyek ini terhenti akibat penurunan tekanan uap panas.
Kini, PLN tengah membangun PLTP Mataloko Unit 2 dan 3 berkapasitas masing-masing 10 MW, dengan sasaran beraksi pada 2031. Pekerjaan prasarana sudah berjalan, meliputi pembangunan wellpad, akses jalan, sistem suplai air, dan akomodasi laydown.
Bagi warga, kehadiran proyek ini membawa perubahan nyata. “Kami berambisi PLTP Mataloko sigap beraksi agar listrik di wilayah ini lancar,” minta Mama Emi Wawo penduduk Mataloko. “Sekarang jalan sudah bagus, hasil pertanian bisa dijual keluar. Puskesmas juga sudah dibangun, jadi jika sakit tidak perlu jauh-jauh ke rumah sakit.”
Harapan dari Tanah Panas
Meski tetap ada tantangan dari kejadian lumpur panas dan gas belerang, penduduk Mataloko memilih bertahan. Mereka menanam, bekerja, dan meletakkan angan pada proyek daya bersih nan kelak bakal menerangi seluruh Ngada.
“Dulu tanah ini kami tinggalkan lantaran takut,” kata Ibu Emi pelan. “Sekarang, kami kembali. Kami percaya tanah ini tetap bisa memberi hidup.”
2 hari yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·