PEMBANGKIT Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Mataloko telah menjadi kebanggaan penduduk Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak tahun 2010. Pembangkit dengan kapabilitas 2,5 megawatt (MW), listrik dari uap bumi ini bisa menyuplai nyaris 60 persen kebutuhan listrik wilayah Bajawa dan sekitarnya.
Rumah-rumah nan dulunya gelap sekarang terang benderang, warung kopi pun bisa buka hingga larut malam, dan listrik menjadi simbol kemajuan. Namun, angan itu tak memperkuat lama.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Sumber daya PLTP Mataloko berasal dari enam sumur geotermal nan dibor antara tahun 1990 hingga 2000 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sayangnya, kedalaman sumur nan hanya sekitar 600 meter tak cukup menahan tekanan uap bumi secara stabil.
“Dari kapabilitas 2,5 MW, akhirnya tinggal 1,5 MW nan bisa jalan. Lama-lama tekanannya menurun dan tidak bisa lagi produksi,” kenang Bobby Robson Sitorus, Manajer Perizinan dan Komunikasi PLN UIP Nusa Tenggara, Jumat, 24 Oktober 2025.
Pada 2015, pembangkit itu resmi berakhir total. Sejak itu, listrik Ngada kembali berjuntai pada sistem interkoneksi Flores, nan disuplai dari PLTMG Rangko (20 MW) di Labuan Bajo dan PLTMG Maumere (40 MW).
Sepuluh tahun setelahnya, PLN kembali menyalakan bara angan itu. Proyek PLTP Mataloko 2×10 MW sekarang tengah dibangun di letak sekitar 15 kilometer dari Kota Bajawa, dan ditargetkan beraksi pada Desember 2031.
Empat titik pengeboran — Wellpad A, B, C, dan D — disiapkan dengan kedalaman mencapai 2.000 meter. “Kami sudah di tahap bangunan sekitar 85 persen. Setelah ini masuk pengeboran sumur produksi, nan diharapkan tuntas sebelum 2028,” kata Taufik Iskandar, Kepala Teknik Panas Bumi (KTPB) Mataloko.
Tahun 2016, pemerintah menugaskan kembali proyek ini kepada PLN untuk dikembangkan menjadi pembangkit nan lebih besar. Hingga April 2025, progres bentuk proyek baru mencapai 79,57 persen.
Selain itu, PLN menggelar beragam program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) seperti jasa kesehatan gratis, training UMKM, dan pemberdayaan penduduk sekitar letak pengeboran.
Meski kebanyakan penduduk mendukung proyek ini, tak semua pihak sependapat. Sejumlah golongan masyarakat menolak eksplorasi panas bumi dengan argumen kekhawatiran terhadap akibat gas HS (hidrogen sulfida) nan berpotensi menyebabkan gangguan pernapasan dan mencemari lingkungan.
Brosur dan selebaran anti-geotermal sempat beredar, menuduh proyek ini rawan bagi manusia dan alam.
Menanggapi perihal itu, Agradi Ariatama, Officer Komunikasi dan TJSL PLN UIP Nusra, menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan lebih dari 40 kali sosialisasi menggunakan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). “Kami terbuka. Semua kajian lingkungan sudah dilakukan dan disampaikan ke masyarakat. Kami mau geotermal ini dipahami sebagai solusi, bukan ancaman,” ujarnya.
2 hari yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·