AREA di terminal Bandara Internasional Kertajati nan jembar tak sebanding dengan orang nan beraktivitas di dalamnya. Terminal tiga lantai dengan daya tampung hingga enam juta penumpang per tahun itu tampak lengang dan nyaris tanpa aktivitas.
Ketika Tempo berjamu pada Senin siang, 20 Oktober 2025, suasana sunyi menyelimuti seluruh area bandara. Hanya beberapa petugas keamanan berjaga di pelataran terminal. Sejumlah tenant makanan dan cinderamata tampak kosong tanpa visitor maupun pekerja.
Padahal, airport nan mempunyai landasan pacu sepanjang tiga kilometer ini diklaim sebagai airport terbesar kedua setelah Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten. Bandara Kertajati diresmikan pada 24 Mei 2018 dan sempat mempunyai tujuh rute domestik pada 2023, antara lain ke Denpasar, Balikpapan, Makassar, Kualanamu, Palembang, dan Batam. Serta satu rute internasional ke Kuala Lumpur. Namun, satu per satu maskapai memilih hengkang lantaran rendahnya okupansi penumpang.
Super Air Jet berakhir beraksi pada pertengahan 2025 setelah kandas memenuhi sasaran penumpang. Sementara Citilink menutup rute Denpasar dan Balikpapan setelah hasil pertimbangan menunjukkan kerugian. Kini, airport hanya melayani satu rute internasional Majalengka–Kuala Lumpur dua kali sepekan oleh maskapai Scoot.
“Untuk mempertahankan operasional dan merawat fasilitas, kami butuh sekitar Rp 5 miliar per bulan, semuanya tetap berjuntai pada APBD Jawa Barat,” kata Senior Executive Vice President PT Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB), Ronald Sinaga. Tahun ini, kata dia, anggaran operasional airport mencapai Rp 75 miliar.
Ronald mengatalam tantangan terbesar Kertajati adalah menarik maskapai dan penanammodal agar mau beraksi di sana. Namun, dia menilai tanggung jawab itu terlalu berat jika tidak disokong pemerintah pusat dan daerah. “Sangat susah mengandalkan airport tanpa aktivitas ekonomi di sekitarnya. Daya tarik wisata dan industri kudu dibangun bersama,” ujarnya.
Selain itu, aspek demografi masyarakat juga menjadi kendala. Mayoritas masyarakat di sekitar Majalengka belum mempunyai kebutuhan tinggi terhadap transportasi udara lantaran mobilitas ekonomi nan tetap rendah.
Meski demikian, Ronald tetap optimistis. Ia menilai akses tol langsung ke airport bakal menjadi penopang utama pertumbuhan. “Sekarang dari Bandung ke Kertajati hanya 60 menit. Dari pusat kota Bandung apalagi bisa 40 menit lewat Tol Purbaleunyi,” katanya.
Tahun ini, pemerintah provinsi berencana memberikan penyertaan modal sebesar Rp 150 miliar kepada BIJB. Dana itu bakal digunakan untuk pemenuhan regulasi, peningkatan aspek keselamatan dan pelayanan, serta pengembangan rute penerbangan.
Kepala Biro BUMD, Investasi, dan Administrasi Pembangunan (BIA) Jawa Barat, Deny Hermawan, mengatakan suntikan modal itu krusial agar BIJB dapat terus beraksi dan memenuhi standar kebandaraan.
“Selain untuk memenuhi regulasi, biaya ini juga bakal digunakan untuk mengupayakan agar agenda penerbangan di Kertajati bisa kembali rutin,” kata Deny seperti dikutip Antara, Rabu, 8 Oktober 2025.
Namun, info menunjukkan tren penurunan jumlah penumpang yang drastis. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, jumlah penumpang domestik di Bandara Kertajati pada semester I 2025 hanya 19.531 orang, ambruk 78,35 persen dibandingkan 90.193 penumpang pada periode nan sama tahun sebelumnya.
Menurut Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI), Alvin Lie, kondisi nan dihadapi Bandara Kertajati merupakan akibat dari pembangunan nan tidak mempertimbangkan kebutuhan riil. “Bandara ini dibangun terlalu besar tanpa support area industri nan kuat. Akibatnya, susah mendatangkan penumpang maupun kargo,” ujarnya.
Menurut Alvin, perekonomian di Majalengka dan wilayah penyangganya nan tetap lesu membikin penanammodal dan pelaku industri enggan datang. Ia menyarankan agar pemerintah wilayah lebih garang mempromosikan area industri dan investasi agar aktivitas ekonomi meningkat dan airport bisa hidup.
Alvin juga menyoroti kreasi airport nan terlampau megah lantaran menambah beban operasional. “Kalau skalanya mini mungkin tidak masalah, tapi terminal nan besar membikin biaya perawatan tinggi. Ini akibat dari keputusan nan lebih politis,” katanya.