Surabaya, CNN Indonesia --
Sejumlah penduduk nan tinggal di sekitar Pondok Pesantren Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, mengaku sudah sejak lama mengkhawatirkan kondisi gedung pondok nan akhirnya ambruk, Senin (29/9).
Mereka menilai bangunan gedung tidak kokoh dan sempat memperingatkan pihak pondok agar lebih memperhatikan aspek keamanan, namun perihal itu tak digubris.
Salah seorang penduduk nan tinggal di sekitar letak mengatakan, saat peristiwa itu terjadi, dia merasakan getaran kuat seperti gempa bumi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Waktu ambruk itu geter, saya sampai lari. Kayak gempa, Mas. Aku wis di-warning sama suami, begitu geter ojo ke depan, langsung ke belakang, tanah kosong," kata salah satu penduduk nan namanya enggan ditulis, Senin (13/10).
Warga tersebut menambahkan gedung ambruk itu diduga dibangun tanpa dasar gedung alias fondasi nan mumpuni seperti fondasi jenis paku bumi alias pondasi ceker ayam nan biasa digunakan untuk gedung bertingkat.
Ia mengatakan sebelum gedung bertingkat itu dibangun, masyarakat sekitar sudah memperingatkan agar pondok menggunakan fondasi nan kuat. Namun, sambungnya, masukan penduduk itu tidak digubris pihak ponpes.
Adapun dalam pembangunan, diduga pihak ponpes hanya menggunakan fondasi sepatu alias pondasi tapak foot plate. Fondasi sepatu itu adalah jenis fondasi dangkal berbentuk persegi alias persegi panjang nan terbuat dari beton bertulang.
"Enggak pakai paku bumi. Sudah diingetin sama warga, tapi ya enggak ditanggapi. Wong waktu bangun itu hanya pakai sepatu, enggak pakai paku bumi. Kalau normal ya pakai paku bumi, 'kalau pondok ya pakai paku doa'," ucapnya seraya menirukan salah seorang pengurus pesantren.
Senada, salah seorang penduduk lainnya mengatakan sejak awal pembangunan gedung bertingkat, penduduk sudah berprasangka lantaran proses pengecoran dan penggalian fondasi terlihat tidak dalam.
"Langsung pasang [fondasi] sepatu, terus ditimbun tanahnya, biar enggak terlalu dalam. Waktu itu kami sempat bilang, kok enggak ke bawah sekalian, tapi ya enggak didengar," katanya nan namanya tak mau ditulis.
Gangguan listrik
Selain masalah struktur bangunan, penduduk juga sempat mengalami gangguan listrik akibat pembangunan pondok nan terlalu dekat dengan jaringan kabel. Mereka mengaku sudah beberapa kali melaporkan perihal itu kepada pengurus pondok, namun tak ada tindak lanjut.
"Masalah lampu juga, tambah tinggi bangunannya. Pernah meninggal sebelah situ, sudah dikomplain tapi enggak sigap diperbaiki," ucapnya.
Warga juga takut ada kejadian runtuhan susulan. Apalagi setelah terjadi gempa magnitudo 6,5 di wilayah sekitar Sumenep, Jawa Timur, Senin (30/9) pada pukul 23.49 WIB.
Ia mengatakan, area Sidoarjo ikut merasakan getaran akibat gempa itu. Menurut mereka, getaran itu membikin penduduk sekitar trauma dan cemas gedung lain jadi tidak kuat menahan guncangan.
"Malamnya itu kan ada gempa dari Sumenep, sini juga geter. Banyak nan lari keluar lantaran takut, trauma, Mas," cerita salah satu penduduk lain nan juga enggan ditulis namanya.
Meski penduduk sudah berulang kali memberi peringatan, mereka mengaku tidak berani terlalu jauh ikut kombinasi lantaran segan dan menghormati pihak pondok pesantren nan dipimpin ustad itu.
Namun setelah kejadian gedung bertingkat nan ambruk itu, banyak di antara penduduk sekitar nan mengaku merasa sedih sekaligus kecewa lantaran peringatan nan dulu diabaikan rupanya betul terjadi.
Kini, kejadian itu menyisakan trauma bagi penduduk sekitar. Banyak dari mereka berharap, kejadian tragis ini menjadi pelajaran agar pembangunan pondok ke depan lebih memperhatikan aspek keselamatan dan standar bangunan nan benar.
"Dulu kami sudah ngomong, tapi yo wis, wong pondoknya sendiri nan ngatur. Sekarang malah jadi begini. Kasihan anak-anak [yang jadi korban] itu," ujar salah satu penduduk lain lirih.
Seperti diketahui, gedung tiga lantai termasuk musala di pondok putra Pondok Pesantren Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, ambruk, Senin (29/9) sore.
Saat kejadian, diketahui ada ratusan santri sedang melaksanakan Salat Ashar berjemaah di gedung nan tetap dalam tahap pembangunan tersebut.
Hingga akhir pencarian, Selasa (7/10), Basarnas mencatat korban ambruknya Gedung Pondok Pesantren Al Khoziny berjumlah total 171 orang. Terdiri dari 104 selamat, 67 meninggal dunia, termasuk 8 body part alias bagian tubuh.
Sebanyak 53 di antaranya, per Minggu (13/10) malam, sudah sukses diketahui identitasnya melalui proses identifikasi oleh Tim DVI di RS Bhayangkara Polda Jatim, Surabaya.
Sementara itu, Polda Jawa Timur mengaku tidak bakal tergesa-gesa dalam menangani kasus ambruknya gedung Pondok Pesantren Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo. Proses investigasi dilakukan secara hati-hati dan sesuai prosedur.
"Proses norma tetap melangkah namun kami tentu tidak tergesa-gesa. Itu penekanan alias penegasan dari kami," kata Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Jules Abraham Abast, Minggu (12/10).
Ia menjelaskan, Polda Jatim tidak mau tergesa dalam memanggil dan memeriksa para saksi lantaran sebagian di antaranya merupakan family korban dan wali santri nan tetap dalam suasana berduka.
"Kami juga memandang tentunya bilamana kami memanggil saksi ada dari family korban nan sedang bersungkawa ini bakal mengganggu proses family ada wali santri nan sedang bersungkawa ya. Kami minta sekali lagi pengertiannya," ujarnya.
Jules menyebut, peningkatan status perkara dari penyelidikan menjadi investigasi sudah dilakukan setelah Polda Jatim dalam pekan lalu. Langkah itu, kata dia, menandai dimulainya tahapan penegakan norma nan lebih mendalam.
"Sebagaimana pada 9 Oktober 2025 telah saya sampaikan, bahwa pada hari sebelumnya kami dari Polda Jawa Timur telah melakukan gelar perkara. Dari hasil gelar perkara itu, proses penegakan norma ini ditingkatkan dari tahap penyelidikan menjadi penyidikan," ujar Jules.
Ia menambahkan, pemanggilan saksi bakal dilakukan secara bertahap. Namun jumlah saksi nan bakal diperiksa belum bisa dipastikan lantaran tetap menyesuaikan dengan kebutuhan penyidik.
(frd/kid)
[Gambas:Video CNN]