SEJUMLAH asosiasi pengusaha tambang meminta pemerintah membatalkan rencana penerapan bahan bakar biodiesel campuran 50 persen (B50) pada 2026. Mereka menilai kebijakan tersebut berpotensi menambah beban biaya produksi di tengah turunnya nilai komoditas tambang dan meningkatnya biaya operasional.
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengatakan industri tambang sebenarnya telah mengikuti seluruh tahapan tanggungjawab penggunaan biodiesel sejak program B10, B20, B30, hingga B35. Namun, penerapan B40 nan mulai melangkah pada Januari 2025 menimbulkan tantangan baru bagi bumi usaha.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Pada awalnya ada kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap mesin dan perangkat berat, lantaran belum ada produsen perangkat berat di bumi nan memberikan agunan penggunaan biodiesel di atas B10,” kata Hendra saat dihubungi, Senin, 27 Oktober 2025.
Selain itu, dia mengatakan pencabutan subsidi untuk penggunaan biodiesel non-PSO (Public Service Obligation) sejak penerapan B40 telah menambah beban biaya bagi perusahaan tambang. Jika pemerintah melanjutkan ke tahap biodiesel B50, beban itu bakal semakin berat.
“Tren nilai komoditas, selain emas, sejak 2024 condong menurun. Sementara biaya operasional terus meningkat akibat kenaikan tarif royalti dan tanggungjawab perpajakan lainnya,” katanya.
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani. Ia menilai kebijakan biodiesel memang perlu ditinjau kembali lantaran berakibat langsung terhadap efisiensi industri tambang.
“Untuk B40 saja, biaya produksi sudah meningkat cukup signifikan. Subsidi nan dihapus sejak B40 membikin seluruh tambahan biaya kudu ditanggung perusahaan. Apalagi jika diterapkan B50,” kata Gita.
Ia menambahkan tidak semua perangkat berat di sektor pertambangan kompatibel dengan bahan bakar biodiesel tinggi. Penggunaan B40, dia melanjutkan, kerap memunculkan hambatan teknis seperti gelombang penggantian filter nan lebih sering dan penyesuaian sistem mesin.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan pemerintah tetap menyusun formula nilai untuk biodiesel B50, nan rencananya bakal mulai diterapkan pada semester II 2026. Program ini bermaksud memperkuat ketahanan daya nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap impor solar.
“Saya tahu tantangannya besar, terutama bagi kontraktor dan pengusaha tambang. Tapi harganya tidak boleh naik terlalu banyak. Sekarang kami sedang cari celah agar bisa seimbang,” ujar Bahlil dalam peringatan Hari Pertambangan dan Energi di Jakarta, Jumat, 24 Oktober 2025.
Menurut Bahlil, uji coba pencampuran biodiesel 50 persen dengan solar telah dilakukan pada kereta, perangkat berat, kapal, dan mobil. Jika hasilnya memuaskan, peluncuran resmi bakal dilakukan pada 2026. Ia menegaskan kebijakan ini telah mendapat restu dari Presiden Prabowo Subianto. “Kalau CPO bisa dimanfaatkan di dalam negeri, nilai jual petani bakal naik,” katanya.
Sartika Nur Shalati, analis kebijakan dari lembaga Cerah, menilai program biodiesel B50 berpotensi mendorong ekspansi lahan sawit hingga tiga kali lipat dari luas eksisting sekitar 16 juta hektare. “Swasembada daya penting, tapi jika mengorbankan rimba dan memperlambat transisi energi, itu langkah nan keliru,” ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar IPB Bayu Krisnamurthi mengingatkan agar pemerintah berhati-hati sebelum menerapkan B50. Menurut dia, peningkatan kadar campuran dari B40 ke B50 bisa menambah beban subsidi, menekan ekspor CPO, serta memicu kenaikan nilai minyak goreng. “Kalau tidak hati-hati, daya saing industri sawit bisa turun,” kata Bayu.
Berdasarkan simulasi, program B50 memang dapat menghemat devisa impor solar hingga Rp 172 triliun, namun potensi kehilangan devisa akibat turunnya ekspor CPO bisa mencapai Rp 190 triliun. “Perlu keseimbangan antara sasaran energi, ekspor, dan kesejahteraan petani. Sawit Indonesia luar biasa kuat, tapi jangan sampai kita sendiri nan membuatnya kalah,” kata Bayu.
2 jam yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·