
JOMBANG – Masyarakat kerap menyamakan pelanggaran terhadap undang-undang pidana dengan vonis balasan nan pasti. Padahal, penjatuhan hukuman pidana dalam sistem norma modern tidak hanya didasarkan pada perbuatan nan melanggar hukum, tetapi secara esensial kudu memenuhi aspek jiwa alias kesalahan pelaku.
Seorang Advokat di Jombang, Sandy Dolorosa H., S.H., C.ME., C.NNLP., CM.NLP., C.NS., menekankan bahwa aspek subjektif ini adalah tembok keadilan dalam penegakan norma pidana di Indonesia.
Dalam sebuah wawancara eksklusif, dia menggarisbawahi pentingnya prinsip ini:
“Setiap pelanggaran terhadap patokan norma pidana belum tentu merupakan pertanggungjawaban pidana, lantaran kudu dilihat dan dipenuhi juga pada aspek subyektif ialah kesalahan.”
Fondasi Keadilan: Dua Pilar Hukum Pidana
Sandy menjelaskan bahwa untuk memidana seseorang, sistem norma mengenal dua pilar terpisah nan wajib dibuktikan:
- Tindak Pidana (Aspek Objektif): Ini hanya mengenai perbuatan nan secara nyata melanggar larangan dalam undang-undang (misalnya, pencurian, pembunuhan, alias korupsi).
- Pertanggungjawaban Pidana (Aspek Subjektif): Ini mengenai kondisi jiwa dan psikis pelaku saat melakukan perbuatan tersebut. Inilah nan diukur melalui Asas Kesalahan.
“Asas ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ (Geen Straf Zonder Schuld) adalah roh dalam penentuan sanksi. Kita tidak bisa menghukum hanya lantaran ada perbuatan nan merugikan. Kita kudu memastikan pelaku layak untuk dicela,” kata Sandy.
Membuktikan ‘Kesalahan’ di Mata Hukum
Menurut Sandy, unsur kesalahan terbagi menjadi tiga komponen utama nan kudu diperiksa oleh Hakim:
- Kemampuan Bertanggung Jawab: Apakah pelaku mempunyai kesadaran dan kematangan jiwa untuk mengerti bahwa perbuatannya dilarang.
- Hubungan Batin: Apakah perbuatan itu dilakukan dengan Kesengajaan (Dolus), ialah niat dan pengetahuan, alias hanya lantaran Kealpaan (Culpa), ialah kurang kehati-hatian.
- Tidak Adanya Alasan Pemaaf: Tidak ada aspek eksternal nan menghapus kesalahan pelaku (seperti daya paksa alias pembelaan terpaksa).
“Contoh ekstremnya, orang dengan gangguan jiwa nan menghilangkan nyawa orang lain. Perbuatannya melanggar hukum, tapi dia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana lantaran dia tidak bisa bertanggung jawab. Kesalahannya nol,” terangnya.
Oleh lantaran itu, dalam setiap kasus, jaksa dan pengadil tidak hanya bekerja membuktikan bahwa tindak pidana telah terjadi, tetapi juga kudu menggali secara mendalam kondisi jiwa pelaku.
“Jika unsur kesalahan tidak terpenuhi, maka meskipun patokan norma pidana telah dilanggar, pengadilan kudu membebaskan pelaku dari pertanggungjawaban pidana. Inilah nan membedakan norma pidana dengan hukuman administratif alias perdata, di mana konsentrasi utamanya adalah kerugian,” tutup Advokat tersebut, menekankan bahwa prinsip ini adalah kunci tegaknya keadilan substantif di Indonesia.